Fiction
Molek dari Tepian Sungai Musi [8]

3 Apr 2012

<< Cerita Sebelumnya

Besok Abah berangkat. Sorenya, jika kau mau, kubantu kau menemui Mang Zein. Entah apa yang akan terjadi nanti. Karena itu, pikirlah matang-matang. Aku tak bisa menasihati macam-macam, tapi ingatlah, sekali kau keluar menemui Mang Zein dan mengatakan semuanya, keadaan takkan pernah sama lagi. Baik buruknya pikirlah sendiri. Besok katakan keputusanmu.

Denti berdiri hendak pergi tanpa menunggu jawaban Molek.

“Cek Ti,” Molek memanggilnya.
Denti terus berjalan, tak ingin mendengar apa pun dan tak ingin berkata lebih dari yang sudah dikatakannya. Dia tak ingin Molek menyalahkannya suatu hari nanti. Tiba-tiba Denti menghentikan langkah. Tanpa menoleh dia berkata, “Aku sudah bertemu Inten dan menceritakan masalahmu. Dia bersedia mengatur pertemuanmu dengan Mang Zein di rumahnya.”

Molek makin terkejut. “Cek Ti,” panggilnya lagi.

“Aku tak bisa lama-lama, nanti ada yang curiga.”

Denti mendorong pintu, bersandar di dinding, menghela napas sedih dan berpikir bahwa dia telah mencelakakan adiknya. Tapi, setidaknya Molek tetap hidup dan bisa menunjukkan kepadanya apakah jalan yang dipilihnya selama ini sesuatu yang benar atau sesuatu yang seharusnya disesali.

Zein mengelus-elus dagunya yang tercukur rapi. Kebiasaan itu selalu dilakukan jika sedang bingung. Di hadapannya duduk seorang gadis yang begitu dikenalnya, namun hari ini tampak sangat berbeda. Gadis itu sangat cantik dan pelan-pelan telah menyusupkan perasaan ganjil saat menatapnya.

Dalam benaknya, Molek hanya seorang anak kecil yang mengulum permen, dengan gembira mengikutinya ke sana kemari, menuntut diceritakan sesuatu yang menarik. Meski dia sadar Molek berubah, Zein tidak benar-benar memikirkannya. Sekarang dia benar-benar dibuat terkejut.

“Minumlah dulu, Mang,” Molek mengulurkan cangkir teh.

Zein memandangi jari-jari lentik yang memegangi tatakan cangkir. Seharusnya jari itu memakai tanggai (kuku palsu untuk menari) dan menari. Pastilah halus dan gemulai. Dada Zein berdesir ketika tangannya secara tak sengaja menyentuh jemari itu. Apa yang sedang kurasakan? Zein membatin marah. Terkutuklah dia karena memikirkan Molek sebagai seorang wanita.

Tadi, dia datang dengan keinginan menasihati Molek dan membawanya pulang. Tapi, setelah tiba di sini, dia seakan tersihir. Molek seperti orang lain. Dalam sekejap dia berubah menjadi kupu-kupu cantik.

“Dari dulu aku tahu, hanya Mang Zein yang paling mengerti aku. Mamang mengajari aku banyak hal, mengisi pikiranku, dan mewarnai hidupku. Cek Ti mengatai aku gila. Mungkin benar. Tapi, kukira Mamang akan mengerti. Aku tak bisa menerima yang lain. Aku hanya bisa memikirkan seorang saja.”

Pipi Molek bersemu, karena dia merasa malu. Tapi, dia harus mengatakannya. Molek tidak menyadari, hari itu, dari ujung rambut hingga ujung kaki, dia tampil bersinar sehingga Zein terpesona. Lelaki itu tidak menyadari kecemasan hati Molek. Di matanya, Molek sangat dewasa dan matang, karena berani membicarakan masalah hati. Sesuatu yang belum pernah dibahasnya dengan wanita mana pun.

“Yusuf sangat baik, tak ada cacat cela. Tapi, aku tak bisa menerimanya. Aku tidak bisa mencintainya, karena dalam hatiku sudah ada orang lain yang diam-diam kucintai sejak lama. Dia mengisi hati dan mimpi-mimpiku. Tapi, rupanya perasaanku tak berbalas. Atau, mungkin, karena dia tak tahu perasaanku ini? Yang pasti, hatiku sekarang sakit dan sedih, karena orang yang kusukai itu malah ingin menikahkan aku dengan anaknya. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan bahwa aku lebih menyukai dia daripada anaknya.”

Zein membeku. Kata-kata itu seakan diteriakkan di dekat gendang telinganya. Tanpa sadar Molek menggenggam tangan Zein, menempelkannya ke pipi dan berkata, “Tolong jangan marah padaku, jangan membenciku. Aku sudah cukup menderita. Aku tak tahu bagaimana mengendalikan perasaan ini. Tolonglah jangan salahkan aku, karena aku juga tak mengerti kenapa perasaan ini bisa tumbuh di hati.”

“Ini keterlaluan. Kenapa kau undang aku untuk mendengarkan kegilaanmu. Kau anakku. Selamanya tetap seperti itu.”

Molek menggenggam erat tangan Zein. Rasa takut kehilangan memenuhi pikiran dan meluncur dari kedua matanya dalam bentuk buliran air. “Aku tak pernah menganggapmu sebagai orang tuaku. Aku tak tahu kenapa aku tak pernah bisa menganggapmu sama seperti Abah. Bagiku kau seorang lelaki dan aku perempuan. Salahkah antara lelaki dan perempuan saling mencintai?”

Zein tak bergerak. Wanita di depannya ini bukan anaknya lagi. Dia wanita dewasa yang setara dengannya.

“Aku… aku ingin… bisakah aku...,” Molek tersendat-sendat dan dengan susah payah berkata, “aku ingin menjadi istrimu.”

Zein terkejut. “Itu tidak mungkin, kau sudah gila.”

Ia menarik tangannya, melangkah keluar dipandangi oleh Molek yang berlinangan air mata. Zein terguncang. Namun, di dalam hatinya ada hal lain yang berkecamuk lebih hebat. Sebuah hasrat dari nalurinya sebagai lelaki.

Air mata Molek membasahi bantalan kursi yang dipeluknya. Apa yang kucari, apa yang kupikirkan? Kenapa aku begitu mudah memutuskan bahwa dia pasti menerimaku? Kenapa aku begitu naif? Sekarang dia pergi. Keputusanku itu bahkan membuatku kehilangan dia untuk selamanya.

Apakah aku lebih baik pulang dan menikah dengan Yusuf? Tidak, tidak bisa. Aku tak bisa menikah tanpa cinta. Abah mungkin telah mendengar keberadaannya di sini. Dia tak bisa pulang. Abah yang memegang teguh kehormatan pasti sudah mencoretnya dari daftar nama keluarga sekarang.

Molek merasa ada orang yang mengusap kepalanya. Inten duduk di sebelah. “Maaf, aku sudah membuat ribut di rumahmu. Kau mau ke mana?”

“Ada pesta. Aku akan ke sana sebentar lagi.”

Molek duduk. “Ajaklah aku ke sana.”

“Kau sudah tidak waras, ya. Cepat pulang! Jika ada yang melihatmu di sini, aku takut membayangkan apa yang akan terjadi.”

Molek menggeleng. “Aku tak akan pulang lagi ke rumah. Ku-mohon, ajaklah aku ke sana.”

“Sadarlah, Molek. Jangan main-main dengan hidup. Aku akan menyuruh Wak Uti menemanimu. Ingat, hidup ini hanya sementara. Jadi, jangan kau isi dengan penyesalan. Kau masih muda. Masih banyak kebahagiaan yang akan kau temui nanti. Ini bukan akhir segalanya.”

“Tapi, aku tak mempunyai harapan lagi.”

Inten merapikan kainnya. “Begini, sekarang aku sedang terburu-buru. Jadi, tak punya waktu banyak untuk menasihatimu. Aku hanya bisa bilang, pikirkanlah baik-baik. Nasibmu ada di tanganmu sendiri. Sekarang tidurlah. Hari ini kau terlalu lelah. Besok pagi saat kau bangun dan bisa berpikir jernih, kita akan membicarakannya lagi.” Inten lalu melenggang pergi meninggalkan Molek yang mengawasinya dari atas tempat tidur.


Penulis: Lisa Andriy


 


MORE ARTICLE

polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?