Fiction
Landra Boleh Memetik Bunga-Bunga

25 Dec 2014

Angin mengempaskan jendela kaca. Landra membuka mata. Hampir lima menit ia tertidur di meja kerja. Beberapa kertas sudah berserakan ke mana-mana. Ia mengumpulkan kertas yang sudah berada di tepi meja, bahkan ada yang terjepit di antara pinggir meja dan dinding, juga beberapa sudah jatuh di lantai.  Kemudian, ia bangkit hendak mendorong keluar daun jendela yang masih bergetar dan saat itu dilihatnya jari-jari kecil --kuku-kukunya panjang dan kotor-- menggapai-gapai hendak meraih tangkai-tangkai anggrek putih yang ia tanam persis di bawah jendela kamar kerjanya.
Tubuh Landra mundur sedikit. Matanya tetap mengawasi. Tangan kecil itu sudah menyentuh kelopak-kelopak anggrek, tapi gagal mematahkan tangkainya, dan kejadian itu terus berulang dan anak itu tak akan menyerah begitu saja.
“Berhenti, Lan! Bunga itu tidak boleh kaupetik.”
Landra terkejut. Ia menoleh. Ingatannya kembali ke masa kecil. Sosok ibunya sudah berdiri di belakangnya sambil menatapnya tajam-tajam. Itu cara Ibu memperingatinya, jika ia melakukan sesuatu yang dianggap kenakalan, dan biasanya selalu berhubungan dengan masalah bunga atau kuku panjang dan kotor yang sering ia sembunyikan. Ia memang punya kebiasaan mematahkan tangkai bunga. Menjadikan bunga-bunga itu sebuah mahkota berbentuk karangan atau bahan masakan yang dicampur dengan tanah dan digiling, dan kotoran pun masuk dalam kuku-kukunya sementara Ibu --sebagaimana kebanyakan ibu lainnya-- sangat keras memegang prinsip: hidup harus tertib dan bersih.
Sekarang mulut Landra terkunci. Bahkan tubuhnya juga ikut tak bergerak. Ia menunggu tangan kecil itu meraih bunga-bunga anggreknya dan barangkali kalau berhasil akan dijadikan bahan main masak-masakan atau membuangnya begitu saja di tanah.
Di benaknya, ada sekelebatan adegan Landra kecil sedang menatap Ibu. “Kau mesti menyayangi bunga, Lan,” kata Ibu setelah itu. “Bunga itu lambang dari rasa sayang.”
Wajah Ibu melembut, sangat lembut, dan Landra lari ke dalam pelukannya, seolah ia baru bebas dari ruang gelap yang membuat napas sesak. Ia begitu lekat dengan dada Ibu. Ia bisa mendengar suara-suara halus. Ia menebak-nebak apa saja isi dada itu.
“Banyak sekali,” kata Ibu. “Dada itu seperti kebun bunga. Macam-macam tanaman ada di dalamnya.”
Landra kecil bengong, ia segera berpikir bahwa suara-suara halus di dada Ibu itu berasal dari kelopak-kelopak bunga yang sedang saling berbisik. Ibu tertawa dan mencubit pipi Landra.
“Jangan lupa menempel surat perjanjian di pintu kamar, ya.”
Dan… seiring adegan itu memupus dari ingatannya, tangan kecil di bawah jendela itu sudah hilang.
Cepat-cepat Landra melongokkan kepala ke bawah jendela. Anak itu benar-benar sudah tidak ada. Ia mungkin berlari cepat karena merasa ada yang tengah mengawasinya. Landra segera memastikan batang-batang anggreknya tidak patah. Hanya batangnya sedikit roboh dan nanti bisa ia perbaiki. Ia membungkukkan badan sampai menyentuh kusen bagian bawah jendela, dan dilihatnya pintu pagar lupa ia tutup rapat. Anak itu pasti masuk dan keluar lewat pintu itu.
“Kau nakal sekali, Kae!” sebuah suara dari samping kiri rumahnya.
Suara itu serupa benar dengan suara Ibu menasihati Landra kecil.
“Kau suka tidak nurut, Lan!” kata Ibu saat ia ketahuan lagi memetiki semua bunga krisan, juga bunga pail ayam yang merah, juga anggrek bulan, dan itu ia lakukan setelah ia membuat janji kesepuluh kali di selembar kertas bahwa ia tak akan merusak bunga-bunga lagi --berdampingan dengan janji kalau ia tak akan  menyembunyikan kuku panjang dan kotor-- dan kertas janji itu ditempel di pintu  kamarnya.  
Selama tiga hari ia dilarang keluar rumah pada jam bermain. Ia memilih menjalani hukuman dengan lebih banyak berada di dalam kamar. Untung ia punya jendela yang menghubungkannya dengan langit. Di langit itu ia membayangkan banyak sekali bunga. Lebih banyak dari bunga-bunga yang pernah ia temui sebelumnya. Dan di sana ada tulisan yang besar ‘Landra Boleh Memetik Bunga-Bunga’. Ia membawa keranjang raksasa dan memetik bunga dengan riang. Bunga-bunga di sana tidak pernah habis.  Tiap dipetik satu, akan tumbuh bunga-bunga yang baru.   
“Besok, kalau keluar, kau harus tetap di dekat Mama, Kae. Jangan ke mana-mana. Jangan melayap ke halaman rumah orang. Jangan belajar mencuri bunga. Ingat?”  
    Landra ingin sekali bilang pada perempuan itu kalau Kae tak mencuri apa-apa. Anak itu hanya bermain dan menyukai bunga. Saat anak-anak, banyak orang tertarik pada warna-warna bunga yang indah, pada baunya yang harum lembut, dan pada bentuknya yang lucu-lucu. Kae mungkin punya satu dari sekian alasan itu. Landra juga ingin sekali bilang pada mamanya Kae, jangan marah. Jangan marahi Kae. Tapi, ia tidak melakukannya. Ia tidak kenal dengan perempuan itu ataupun Kae. Ada dua buah rumah di samping kiri rumah Landra. Kae mungkin berasal dari salah satu rumah itu. Mungkin orang baru.
Sambil menghirup udara banyak-banyak, Landra berusaha membuang kejadian itu dalam kepalanya. Ia pikir itu hanya kejadian kecil seperti ia terkadang bertemu bocah-bocah lain atau seperti ia melihat kejadian-kejadian remeh sepulang dari kantor. Hinggap sebentar di pikirannya, lalu lenyap tanpa bekas.
***
Sampai tengah malam ternyata Landra masih memikirkan jari-jari dan kuku kotor  bocah itu. Ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak itu mirip sekali denganku? Suka memetik bunga dan memelihara kuku-kuku panjang dan kotor.
“Kukumu kotor sekali, Lan!” kata Ibu pada pagi hari ketika Landra kecil bersiap berangkat ke sekolah.
“Aku suka kuku yang kotor,” katanya sambil menarik tangan dari cengkeraman Ibu. Tangan itu ia sembunyikan di balik badannya.
Ibu lalu memaksanya mengeluarkan tangan itu. Menarik kuat-kuat.
“Kau keras kepala,” kata Ibu.
Satu per satu kukunya digunting. Dan wajah Landra begitu dingin. Bibirnya terkatup rapat-rapat. Dan Ibu berkata lagi, “Kau seperti tengah menantang Ibu, Lan.”
Semua anak-anak memang nakal, gumam Landra setengah bersedih. Ia betul-betul ingin membela Kae. Mendatangi rumah anak itu besok pagi dan menjelaskan kalau Kae benar-benar tak merusak apa-apa. Ah, tidak… tidak… mungkin itu sangat tidak sopan, pikir Landra. Apa yang akan dipikirkan orang tua Kae tentangnya? Seorang tetangga yang sok baik? Atau apa yang dipikirkan Kae? Anak itu bisa menganggapnya sedang mengulurkan pertemanan. Ia tak akan membiarkan seorang bocah tak dikenalnya itu merebut tempat di hatinya. Sekali ia merebutnya, maka anak itu akan mendapatkan hal-hal lainnya dengan mudah, semisal permen di meja kerjanya, es krim di kulkas, lolipop yang sengaja ia beli dan simpan dalam kantong khusus. Ia sama sekali tidak menginginkan hal-hal semacam itu. Ia sudah memilih hidup di ruang-ruang yang sepi di mana ia bisa membawa pekerjaan ke rumah tanpa diganggu perkara-perkara lain.
“Kau selalu merusak ketenangan,” itu yang dikatakan Ibu saat Landra kecil menjatuhkan piring atau mangkuk di lantai, dan bunyinya sungguh keras sekali. Dan ia mengingat dengan jelas semua itu dan belajar sesuatu tentang kehadiran anak-anak yang  bisa saja akan mengubahnya jadi mirip dengan Ibu. Ia tak mau dan karenanya memilih berjarak. Jarak akan membuatnya melihat sesuatu dengan baik, atau paling tidak menghindarkannya jadi seorang perempuan dewasa yang suka membuat aturan-aturan yang tidak bisa diterima anak kecil.
Ia mungkin tidak akan pernah terlalu suka pada anak-anak, tapi ia paham perasaan-perasaan tertentu yang mereka miliki.
***
Kuku panjang dan kotor itu kembali menjulur-julur dari bawah jendela. Sesuai dugaan Landra, anak itu kembali mengincar anggrek putihnya. Landra berdiri dan mengambil tempat agak ke belakang. Mengawasi. Tangan itu berhasil menyentuh kelopak anggrek. Beberapa kali. Tapi, seperti kemarin, bunga anggrek itu selalu terlepas. Landra mulai berpikir, sebenarnya Kae tidak benar-benar ingin meraih atau mengambil bunga itu. Kae cuma ingin bermain-main. Kae kesepian. Kae tidak ada teman, seperti dulu yang dirasakan Landra cilik.
Aku ingin punya teman di rumah, tulis Landra kecil di kertas saat ia mendapat hukuman lagi di kamar. Langit gelap saat itu. Tak ada bunga-bunga yang bisa ia petik dan tentu pula tak ada tulisan ‘Landra Boleh Memetik Bunga-Bunga’. Ia merasa bosan sekali. Namun, untung ia masih punya kuku. Kuku yang kembali panjang dan kotor dan beberapa lama berhasil ia sembunyikan dari mata Ibu. Ia menggigit ujung-ujung kuku itu.  Kadang juga mengorek-ngorek keluar kotoran di dalamnya dengan kuku lain. Ia senang bermain-main dengan kuku yang kotor. Di sana mungkin saja akan tumbuh batang-batang bunga. Dan ia akan memiliki kebun bunga dalam kukunya. Kebun bunga yang bisa ia bawa ke mana-mana dan bisa ia gunduli sesuka hati, tapi, sebelum itu, ia mau memamerkannya pada semua teman-teman di sekolah. Landra terkikik sendiri.
“Kau belum tidur juga, Lan, hari sudah hampir sore,” tegur Ibu pada Landra kecil dari luar. Bunga-bunga yang nyaris mekar dalam kuku Landra langsung hilang dan menjelma kuku-kuku biasa yang ujung-ujungnya sudah hancur, basah, dan bau ludah.
 Landra kecil memejamkan matanya setengah terpaksa. Dan ia memang tidak mungkin tidur sebab kepalanya terus-menerus berpikir tentang apa saja yang bisa ia ciptakan dalam kamarnya setelah Ibu merenggut bunga-bunga yang tumbuh di kukunya.   
Suara dari luar pagar mengembalikan pandangan Landra ke bawah jendela. “Kae, kau ke sana lagi?” teriak suara si tetangga. “Kau benar-benar tidak mau nurut, ya.”
Seketika hening. Bahkan rasanya detak jam dinding ikut berhenti. Angin. Napas. Semuanya diam.
Lalu terdengar tapak kaki berlari.
“Kau benar-benar harus dapat hukuman. Kau tidak boleh keluar rumah lagi. Besok kau harus masuk kamar dan tidur siang lebih awal.”
Saat suara di luar pagar sudah hilang, Landra maju lebih dekat ke arah jendela. Ia melongok ke bawah. Batang anggreknya kembali sedikit roboh, tak sampai patah, dan tentu akan ia perbaiki lagi dan memasang kawat lebih kuat.
Landra segera menutup jendela. Angin sepertinya akan berembus lebih kencang jelang sore hari. Ia sedang benar-benar ingin sendiri, menutup lubang udara yang membawa masuk suara-suara lain dalam rumahnya, dan ia memejamkan mata sambil membayangkan langit dengan tulisan ‘Landra Boleh Memetik Bunga-Bunga’ dan Landra kecil melompat-lompat dengan keranjang besar dan kukunya yang panjang dan kotor memetik kuntum bunga yang tak habis-habis.(f)
********
Yetti A.K.A


 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?