Profile
Wawancara Eksklusif Bersama Carina Joe: Ilmuwan Muda Indonesia di Tim Peneliti Vaksin COVID-19 Oxford-AstraZeneca

29 Jan 2022

Carina Joe, Peneliti Asal Indonesia untuk Vaksin COVID-19
Foto:
John Cairns


Beban tanggung jawab yang sangat berat dalam situasi darurat global sempat membuat ilmuwan muda Indonesia, Dr. Carina Citra Dewi Joe, BSc, Msc, PhD. ingin keluar dari proyek manufaktur vaksin COVID-19 Oxford-AstraZeneca. Namun akhirnya, pada kebaikan hidup manusia dan alam semesta, ia kembali berpihak. Berkat formula temuannya, ia mampu melipatgandakan produksi vaksin hingga 10 kali lipat lebih banyak. 

Desember lalu, Femina mendapat kesempatan berbincang dengan wanita kelahiran Jakarta, 21 April ini. Simak obrolan femina dan Carina tentang vaksin AstraZeneca, bidang bioteknologi yang membuat ia jatuh cinta, hingga wanita dalam saints.
 

Formula Melipatgandakan Vaksin

Carina tidak pernah menduga bahwa pandemi akan datang begitu cepat dalam perjalanan karirnya dan ia akan terlibat langsung di dalamnya. Tercemplung dalam proyek manufaktur vaksin COVID-19. Lewat kerja kerasnya, ia menemukan formula yang mampu melipatgandakan produk vaksin hingga 10 kali lipat lebih banyak. 

Sebuah kebanggaan untuk bisa berbincang langsung dengan seorang peneliti muda yang memiliki kontribusi besar pada penemuan vaksin COVID-19. Memulai perbincangan ini, femina ingin tahu cerita bagaimana Anda bergabung sebagai researcher di Oxford University?

Jadi saya direkrut sebagai researcher di Oxford University karena saya mempunyai pengalaman di bidang pengembangan vaksin yang merupakan mata kuliah S3 saya di RMIT, Australia dan juga saya memiliki pengalaman di bidang manufaktur skala besar obat-obatan dan vaksin yang mempunyai standar untuk digunakan manusia pada saat saya bekerja sebagai intern di sebuah perusahaan di Australia. Kedua hal ini yang membuat saya menjadi kandidat yang cocok untuk proyek manufaktur vaksin rabies untuk Oxford University. Tim saya saat ini bertanggung jawab untuk uji klinis vaksin rabies ini di Inggris dan Tanzania dan mereka mebutuhkan proses manufaktur vaksin ini dengan skala yang besar.


Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam proyek vaksin Oxford-Astra Zeneca? 

Jadi setelah bekerja beberapa bulan untuk proyek manufaktur vaksin rabies, pada bulan November 2019, saya menemukan formula yang bisa memproduksi vaksin tersebut dengan jumlah 10 kali lipat lebih banyak. Pada awal Januari 2020, supervisor saya mendapat kabar kalau ada wabah penyakit di Wuhan dan dia memprediksi kalau penyakit ini berbahaya dari pola penyebarannya. Dr. Sandy Douglas, supervisor saya membuat proposal untuk mengembangkan vaksin COVID19 ini dan karena vaksin ini dibutuhkan dalam jumlah besar untuk uji klinis dan distribusi global maka proyek saya diganti fokusnya dari vaksin rabies ke vaksin COVID19 ini. Saat itu statusnya darurat dan kebetulan hanya saya yang mempunyai skill di bidang manufaktur vaksin ini di Jenner Institute.


Apa tugas utama Anda dalam tim? 
Tugas saya sebagai ilmuwan utama yang bertanggung jawab di laboratorium dalam mengembangkan proses manufaktur skala besar vaksin COVID19 Oxford-AstraZeneca untuk produksi massal dengan memenuhi standar kualitas badan kesehatan untuk dipergunakan manusia.


Tanggung jawab besar, pasti diikuti pressure yang besar juga. Seperti apa perasaan Anda?

Pada saat itu, saya hanya memiliki waktu 1,5 bulan untuk mengembangkan proses manufaktur yang akan disimulasikan pada skala 200L. Di mana saat itu saya hanya mempunyai hasil dari skala 30 ml atau dua sendok makan yang membuat tugas ini tampak mustahil karena pengembangan proses biasanya membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun untuk menyelesaikannya. 

Tim kami kecil, saya dan supervisor saya Dr. Sandy Douglas adalah satu-satunya yang tahu bagaimana prosesnya bekerja. Ada juga Dr. Adam Ritchie, manajer proyek yang mengelola anggaran dan persediaan. Kami semua bekerja selama 15-16 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa istirahat untuk memastikan bahwa semuanya dilakukan dengan sempurna sesuai dengan spesifikasi. 


Ada proyek baru?

Saat ini saya tetap bekerja di dalam proyek manufaktur vaksin Oxford AstraZeneca vaksin ini, saya mengerjakan continuous improvement dari manufacturing process yang sudah berjalan sehingga hasil produksi bisa jauh lebih tinggi dan juga tetap menjaga kualitas dengan standar yang tertinggi. Selain itu saya juga mempunyai beberapa proyek untuk mengembangkan teknologi vaksin yang lebih baik lagi dan mudah diadaptasi untuk penyakit yang berbeda, agar kita lebih siap dalam menghadapi pandemi di masa depan.
 

Carina Joe

(kiri - kanan) Dr. Carina Joe, Dr. Adam Ritchie, Dr. Sandy Douglas I Foto: John Cairns


Pelajaran Hidup dari Pandemi

Ketika pada akhirnya banyak orang di seluruh dunia merasakan manfaat dari vaksin Oxford-Astra Zeneca, Carina merasa senang karena hasil kerja keras ia dan tim bisa digunakan banyak orang, menyelamatkan banyak nyawa orang. Namun, di saat yang sama ia merasa masih banyak hal yang harus ia kerjakan di bidang ini sehingga tidak boleh segera berpuas diri.


Berkaca pada apa yang terjadi di masa pandemi ini, pelajaran apa yang paling Anda rasakan?

Saya ini sebenarnya orang yang pesimis, jadi kalau Anda bertanya tahun lalu kepada saya apakah mungkin saya bisa menyelesaikan proyek manufaktur ini dalam waktu yang begitu singkat, tenaga kerja yang minim, dan keterbasan dana. Saya akan menjawab tidak mungkin. Jadi saya belajar dari quote “everything is theoretically impossible until it is done”. Dari situ saya berusaha untuk menjadi lebih optimis, saya akan lakukan dulu yang terbaik dan apa pun hasilnya setelah itu akan saya terima.


Selama proses penelitian vaksin, bekerja dalam tim kecil dengan jam kerja yang panjang dan di bawah tekanan. Bagaimana Anda menjaga fokus dan kesehatan?  

Saya selalu berdoa sebelum memulai pekerjaan dan sebelum tidur, menjaga pola makan, dan sebisa mungkin menyempatkan untuk tidur minimum 5 jam sehari. Membuat jadwal kerja dan mengikuti jadwal yang sudah ditentukan, membuat dokumentasi untuk setiap proses yang dikerjakan, memiliki prioritas untuk setiap hal yang dilakukan, merencanakan persiapan dari jauh jauh hari. 


Dihadapkan pada tekanan dan hal yang mustahil, pernah merasa ingin menyerah?

Pernah saya mengemukakan kepada supervisor saya kalau saya mau keluar dari proyek ini karena beban tanggung jawab saya sangatlah berat. Saya harus menangani langsung semua tahapan dalam proses manufaktur ini karena tidak ada tenaga kerja yang lain. Tidak ada yang menggantikan saya kalau saya sakit. Jadi sakit pun tetap harus bekerja karena status proyek ini adalah darurat.

Di lain sisi, saya tidak boleh melakukan kesalahan apa pun karena satu kesalahan berarti saya harus mengulangi seluruh proses. Dan kondisi saat itu kami tidak boleh menunda proses apa pun karena uji klinis sudah dijadwalkan dan tidak bisa diundur. 


Apa yang membuat Anda bangkit kembali?

Tidak ada acara khusus untuk bangkit kembali, saya hanya ingat pada saat saya sudah menyatakan ingin keluar dari proyek ini. Sandy mencoba memberikan pengertian kepada saya kalau ini adalah tanggung jawab kita sebagai ilmuwan, membuat karya yang bisa digunakan untuk menolong sesama dan kita harus mengejarkan sebaik mungkin. 

Dia juga menjelaskan banyak orang yang meninggal akibat COVID19 ini dan vaksin ini memiliki kemungkinan untuk bisa melindungi banyak orang dari konsekuensi wabah tersebut kalau lolos uji klinis. Jadi besok harinya, saya kembali bekerja seperti biasa karena rasa tanggung jawab yang sudah ditanamkan orang tua saya sejak kecil.
 

Carina Joe
Foto: John Cairns

Women & Science

Bagi lulusan Doctor of Philosophy in Applied Biology and Biotechnology dari RMIT, Australia ini memutuskan untuk menempuh karier di bidang biotechnology khususnya di bidang kesehatan merupakan mimpinya. Ia pun tak pernah menyesali jalan karier ini. Termasuk bergabung dengan tim-nya saat ini di AstraZeneca karena inilah yang menjadi tujuan utamanya, membantu lebih banyak orang dari ilmu yang ia tekuni. Tak heran jika ia pun menyambut baik keputusan dari University of Oxford yang juga diterima oleh pihak AstraZeneca untuk tidak mengambil profit dari vaksin COVID19 ini selama pandemi sehingga bisa memberi manfaat untuk lebih banyak orang.


Peristiwa apa yang membuat Anda pertama kali tertarik pada science?

Sejak awal saya selalu memiliki ketertarikan di bidang science karena ilmu tersebut sangat berhubungan erat dengan pemahaman tentang kehidupan dan alam semesta ini. Tetapi semakin saya mendalami science saya menyadari masih banyak hal yang tidak saya mengerti, banyak pertanyaan yang belum terjawab, masih banyak peristiwa yang saya tidak pahami. Jadi yang membuat saya memutuskan untuk mengambil science adalah rasa keingintahuan tentang segala sesuatu dengan potensi yang tidak terbatas yang menurut saya sangat menakjubkan. Ketertarikan itu dilandasi rasa ingin tahu. 


Jadi scientist, cita-cita masa kecil? 

Dulu hal yang popular ketika seseorang ingin berkarier di bidang science adalah antara menjadi seorang dokter atau insinyur, Jadi cita cita saya semasa kecil adalah dokter atau insinyur, berbeda dengan yang saya lakukan sekarang. 


Fokus Anda saat ini di bidang biotechnology, apa yang menarik dari bidang ini? 

Tahun terakhir masa SMA, Ibu Lily, guru biologi kami memberikan pelajaran di luar mata pelajaran yang ada saat itu yaitu tentang bidang bioteknologi. Beliau menjelaskan tentang penelitian yang berhasil mengubah warna ikan yang tadinya monokromatik (hitam putih) menjadi berwarna warni. Itu menjadi titik pertama saya mulai mengenal dan mempunyai ketertarikan di bidang bioteknologi. Setelah saya banyak mengumpulkan informasi tentang bidang bioteknologi, saya menyadari banyak hal yang bisa dilakukan di dalam bidang ini termasuk pembuatan obat dan vaksin yang bisa berguna di bidang kesehatan. Saya memilih bidang ini karena ketertarikan (saya ingin bekerja di bidang yang saya sukai) dan kegunaannya untuk kesehatan.


Bagaimana Anda melihat peluang wanita dalam dunia science, baik di Indonesia maupun global? 

Negara maju sudah menyadari akan pentingnya peran wanita di dalam dunia science, sehingga mereka selalu berusaha memberikan akses yang sama kepada para wanita terhadap pendidikan di bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM). 

Wanita memiliki potensi dan kecerdasan dari setengah populasi di dunia ini. Memberikan kesempatan dalam dunia pendidikan dan pekerjaan untuk wanita akan memberikan peluang untuk kemajuan karier mereka di masa yang akan datang sehingga masyarakat mendapatkan manfaat dari kontribusi dan inovasi para wanita. 

Masih banyak kesenjangan pendidikan dan pekerjaan di bidang STEM di tingkat global dan Indonesia untuk wanita. Walaupun sudah banyak usaha untuk mengatasi kesenjangan tersebut namun tetap diperlukan usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya peranan dari ilmuwan wanita di tingkat masyarakat (sekolah) dan pemerintahan.


Apa ‘senjata’ yang dibutuhkan oleh seseorang untuk sukses membangun karier sebagai ilmuwan?

Apapun bidang keilmuwannya, menurut saya seorang limuwan, pria atau wanita, selayaknya memiliki etika kerja, tanggung jawab, jujur, ketekunan, rasa keingintahuan yang tinggi, dan selalu terbuka untuk belajar teknologi yang baru. Ia juga haruslah sosok yang critical thinkingthinking out of the box, mampu berkomunikasi dengan baik, bekerja dalam team work, dan memiliki kemampuan problem solving skill. 


Menutup obrolan kita, apa pesan Anda pada mereka yang menolak untuk divaksinasi COVID-19? 

Jadi saya selalu mengarahkan publik untuk mencari informasi ke sumber yang benar, situs pemerintah dan badan kesehatan. Semua vaksin yang telah disetujui badan kesehatan masing masing negara sudah melalui proses uji klinis dengan standar yang tertinggi untuk dinyatakan aman dan efektif. Jadi, Anda tidak perlu ragu. (f) 

Bahan wawancara: Cempaka Fajriningtyas

Baca Juga: 

Kenalan dengan Shalika Aurelia, Pesepakbola Wanita Indonesia Pertama yang Merumput di Eropa
Sharlini Eriza Putri, Lahirkan Inovasi Dari Empati
Dewi Nur Aisyah, Pakar Epidemologi Moderen Wanita Satu-Satunya yang Dimiliki Indonesia

 


Faunda Liswijayanti


Topic

#profil, #peneliti, #ilmuwan, #vaksin, #covid-19, #diaspora

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?